JAKARTA-JOURNALREPORTASE – Di balik penerapan Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) di Provinsi Jakarta ternyata menghasilkan fakta yang amat mencengangkan.
Berdasarkan data yang dibeberkan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, tiap bulannya terdapat kurang lebih 10 juta pengendara melanggar lalu lintas yang terpantau kamera ETLE.
Ketua Presidium Indonesia Traffic Watch (ITW) Edison Siahaan memandang kondisi itu wujud gagalnya negara terkhusus kepolisian menyadarkan publik akan tertib berlalulintas.
“ITW meminta agar upaya mewujudkan Kamseltibcarlantas tidak hanya melakukan penindakan terhadap pelanggar lalu lintas. Tetapi juga harus berupaya maksimal untuk meningkatkan kesadaran tertib berlalu lintas masyarakat,” kata Edison lewat siaran pers yang diterima Journalreportase.com, Minggu (7/7/2024).
“Sekaligus bukti bahwa kesadaran tertib berlalu lintas masih rendah. Tetapi jumlah denda yang diperoleh sangat besar. Dalam UU No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ada 45 Pasal tentang ketentuan pidana kurungan atau denda. Tertera denda tertinggi pada Pasal 273 ayat 3 sebesar Rp 120 juta dan denda terendah pada Pasal 299 sebesar Rp100 ribu,” tambahnya.
Dengan merujuk pada jumlah pelanggar itu pada akhirnya menimbulkan penerimaan negara yang nominalnya terbilang fantastis.
“Bila dihitung jumlah pelanggar di Jakarta sebulan mencapai 10 juta dengan denda terendah Rp 100 ribu, maka jumlah pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari denda tilang mencapai Rp 1 triliun/ bulan. Pendapatan itu diperoleh hanya dengan menyiapkan sebanyak 127 ETLE statis dan 10 ETLE mobile,” ujar Edison.
Mantan Ketua Forum Wartawan Polri (FWP) ini lantas mempertanyakan pemanfaatan uang yang diraup dari hasil pelanggaran itu.”Sungguh menuai banyak pertanyaan, sebab di tengah kesemrautan lalu lintas yang potensi menimbulkan beragam permasalahan, justru menghasilkan pendapatan Rp 1 triliun per bulan. Lalu bagaimana pengelolaan dana dari denda tersebut,” tandasnya.
Dia bilang 10 juta jumlah pengendara dari berbagai jenis pelanggaran dari mulai melawan arus, melanggar rambu, tidak menggunakan helm, sabuk pengaman dan lain-lain adalah potret nyata bahwa kesadaran tertib berlalu lintas masih sangat rendah. Kepatuhan terhadap aturan lalu lintas masih belum bertumbuh dengan baik.
“Sekaligus mengingatkan bahwa maraknya penindakan belum memberikan dampak signifikan terhadap upaya mewujudkan Kamseltibcarlantas. Hendaknya, segera dievaluasi apabila kebijakan dan upaya yang telah lama dilakukan, tetapi kurang memberikan dampak untuk mewujudkan Kamseltibcarlantas.
Apabila berbagai larangan dan tindakan yang dilakukan belum memberikan efek jera, sebab jumlah pelanggar terus bertambah. Justru muncul kesan, penindakan hanya untuk mengisi pundi-pundi PNBP dari sektor denda tilang.
Semestinya semangat penindakan harus setara dengan upaya meningkatkan kesadaran tertib dan keselamatan berlalu lintas. Serta persiapan sarana prasarana maupun infrastruktur transportasi umum,” bebernya.
Oleh karena itu, ITW menyarankan agar sosialisasi dan kampanye tertib dan keselamatan berlalu lintas harus lebih masif dengan melibatkan masyarakat secara langsung, bukan hanya sebagai penonton.
“Upaya diawali dari komunitas masyarakat yang terkecil hingga kelompok dan organisasi dari desa sampai ke tingkat Pusat. Bahkan sudah waktunya, tertib dan keselamatan berlalu lintas menjadi mata pelajaran di tingkat sekolah dasar atau sekolah menengah,” pungkasnya. (AY)