Oleh: Roedy Silitonga – Dosen Agama dan Teologi Universitas Pelita Harapan
Pendahuluan
Pilatus pernah bertanya kepada Yesus Kristus sebelum penyealiban-Nya “Apakah kebenaran itu?” Sementara itu sejak lama, beberapa filsuf Yunani telah berupaya mendefinisikan kebenaran dengan berbagai perspektif dimana diri manusia, pengamatan inderawi, pengalaman hidup, kebutuhan sosial dan moralitas dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran. Pemikiran ini juga masih bercokol di benak banyak orang. Namun seperti yang manusia sadari bahwa hal itu tidak ada satu pun yang dapat memuaskan hati dan yang dapat menolong manusia untuk mendapatkan jawabannya. Karena penemuan tersebut hanya sampai batas pada alam dan manusia yang terbatas. Demikian juga beberapa tokoh-tokoh spiritual dari berbagai kepercayaan di Barat dan di Timur telah berjuang memperkenalkan kebenaran dengan jalan kebajikan yang disepakati bersama yang bersifat subyektif dan hanya dapat diimplementasikan pada kelompoknya. Sejak era Pencerahan (abad 18) sampai saat ini di era Society 5.0, manusia masih terus mempertanyakan apakah itu kebenaran dan bagaimana memahaminya dengan benar, baik, tepat. logis, utuh dan berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada kelompok yang mengutamakan rasio manusia sebagai ukuran utama, ada kelompok yang menjadikan pengalaman hidupnya sebagai standar, dan ada juga kelompok yang menekankan pada hasil yang dicapainya dan diterima oleh orang lain. Berbagai upaya pembuktian dari pengamatan inderawi, pemeriksaan dan penyelidikan di laboratarium serta fakta di lapangan dipaduserasikan oleh para ahli untuk mendapatkan hasil yang benar atas obyek atau subyek yang diteliti dan dianalisisnya. Para ilmuwan dan filsuf modern termasuk pemikir Kristen sudah juga berupaya menunjukkan penemuan-penemuan tentang berbagai kebenaran ilmu pengetahuan di berbagai bidang pengetahuan melalui jalan pengujian yang dapat dipercaya dan dipertanggung jawabkan, serta mengevaluasinya sehingga hasilnya akurat dan bermanfaat. Misalnya, pengujian terhadap vaksin untuk penanganan covid 19 yang terbukti efektif untuk daya tahan tubuh. Setiap penemuan itu terbukti secara logis, komprehensif bermanfaat langsung bagi manusia saat ini. Namun pencapaian manusia manusia belum kepenuhannya. Manusia masih terus mencari kebenaran-kebenaraan yang Allah internalisasikan di setiap entitas di alam semesta.
Keyakinan Kristen “Segala Kebenaran adalah Kebenaran Allah”
Dalam keyakinan Kristen, Allah menyatakan kebenaran-Nya secara umum dan secara khusus. Segala kebenaran Allah secara umum dapat ditemukan, disistematiskan, diolah dan diwujudkan melalui berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi sepanjang zaman. Kebenaran-kebenaran umum tersebut dinternalisasi di alam semesta, di hati nurani manusia, dan di dalam sejarah, Kebenaran secara umum bersifat natural dan non-verbal. Di dalam ketiga bagian tersebut tersimpan dan tersembunyi kebenaran Allah tersebut sebagai sistem kehidupan yang secara inherent terdapat hukum alam, hukum rohani dan hukum moral. Sistem kehidupan memiliki tiga natur yaitu teratur, indah, dan baik yang menceritakan keagungan Allah, Sang Pencipta yang Esa. Dalam keyakinan Kristen, manusia adalah ciptaan pribadi, yang diciptakan menurut gambar Allah. Manusia memiliki kapasitas berpikir untuk menemukan, memformulasikan, dan merumuskan segala kebenaran Allah tersebut dalam wujud kebudayaan dan kepercayaan. Kedua hal itu sebagai bagian dari responnya atas kebenaran Allah secara umum. Walaupun hasil respon manusia itu bukanlah entitas dari kebenaran Allah tetapi keduanya merupakan refleksi kebenaran yang ada pada kemanusiaan yang tidak utuh dan belum sempurna.
Dalam keyakinan Kristen, bahwa respon manusia terhadap segala kebenaran umum itu dapat terjadi karena Roh Kudus memberikan iluminasi di dalam pikirannya pada waktu pengamatan inderawi dan analisa yang obyektif. Hasil respon tersebut diaktualisasikan pada tiga bagian: Agama, Kebudayaan, dan Hikmat dalam satu kesatuan dan tidak terpisahkan. Implementasi dari respon tersebut adalah (1) Pluralitas agama dan kepercayaan yang lebih dari empat ribuan kelompok dengan satu tujuan bagi para pengikutnya yaitu melakukan kebaikan dan keadilan di bumi ini; (2) Multikultur di antara umat manusia secara kelompok, komunitas dan etnis memiliki keunikan dengan tujuan untuk memanfaatkan setiap hasil pengelolaan sumberdaya di bumi ini bagi kesejahteraan hidup sesama manusia; (3) Keragaman dan keunikan hikmat yang diperoleh dan dipelajari manusia secara individu dan kelompok untuk mengerti dan memahami perjalanan sejarah diri sendiri, keluarga, kelompok, bangsa dan umat manusia dengan tujuan menemukan berbagai bijaksana untuk diterapkan di masa depan.
Implikasi dari Kesatuan Segala Kebenaran Allah
John Frame dalam artikel Christianity and Culture yang dirilis dari Lausanne Committee on World Evangelism berpendapat bahwa culture as an integrated system of beliefs, values, customs, and institutions which binds a society together and gives it a sense of identity, dignity, security, and continuity (Frame, 2001:23-27). Pengertian ini menegaskan bahwa setiap kebudayaan merefleksikan suatu bentuk kepercayaan itu ada pada suatu etnis; sebaliknya setiap kepercayaan secara konkrit dapat diwujudkan melalui pemikiran, perilaku dan artefak-artefak budaya. Sedangkan Stephen Tong dalam bukunya “Dosa dan Kebudayaan” menegaskan bahwa setiap orang memiliki sifat dasar yaitu sifat agama dan sifat budaya yang dapat dibedakan, dimana respon eksternal terhadap wahyu umum menghasilkan kebudayaan dan respon internal terhadap wahyu umum menghasilkan agama (Tong, 1997: 17-19). Dengan kedua pemikiran ini dapat dimengerti seperti yang ditulis oleh Carl Henry bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk memuja sesuatu (Carson and Woodbridge, 2002:2) yang duwujudkan melalui aktivitas budayanya.
Kebudayaan merupakan sistem kehidupan manusia yang terdiri atas tiga bagian ide/gagasan/pemikiran/wawasan dunia, perilaku/sikap/perbuatan/tindakan,dan hasil karya/materi/benda dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Setiap orang di dalam komunitasnya dan etnisnya berpotensi menciptakan kebudayaan sebagai respon atas segala kebenaran Allah secara umum untuk memanfaatkannya secara inovatif, kreatif, produktif. Potensi individu dan komunitas menciptakan kebudayaan melalui berbagai konsep-konsep kosmologis, ilmu pengetahuan, bahasa, agama/kepercayaan, organisasi masyarakat dan sistem kekerabatan, sistem perekonomian, sistem kesenian (Koentjaraningrat, 1990). Keseluruhan kebudayaan diaktualisasi setiap orang dalam suatu etnis melalui gaya hidup, kebiasaan, adat-istiadat melalui upacara-upacara. Stephen Tong menjelaskan kekurangan kebudayaan yang diciptakan oleh manusia. Pertama, kebudayaan tidak pernah mengungkapkan tentang sumber dan arah manusia sebagai inti pencariannya. Kedua, kebudayaan tidak menghasilkan standar moral yang mutlak untuk mencapai kebaikan. Ketiga, kebudayaan tidak membebaskan manusia dari kekacauan yang dihasilkan dari pengatahuan yang dibuatnya. Keempat, kebudayaan tidak dapat membawa manusia kembali kepada posisi yang sebenarnya di alam ini. Kelima, kebudayaan tidak berkuasa mengungkapkan pusat dan makna hidup kepada manusia (Tong, 1997:58-65). Kelima kelemahan itu berkaitan dengan keterbatasan manusia sebagai ciptaan yang sudah berdosa dan rusak total. Di pihak lain, alam semesta dan segala isinya begitu luas dan melimpah menyimpan segala kebenaran Allah tersebut yang sampai sekarang masih sebagian saja yang ditemukan manusia.
Implementasi pada Hubungan antara Kebenaran dan Kebudayaan
Pertama, Hubungan Historis. Kebudayaan selalu mengalami perkembangan dalam mencapai peradaban yang berkualitas, bertahan lama, dan berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bagi Vanhoozer, “Kebudayaan adalah drama sejarah yang berkesinambunga…sebagai alat utama memelihara roh manusia” (Carson and Woodbridge, 2002:9). Perubahan dan dinamika kebudayaan seiring sejalan dengan penemuan kebenaran-kebenaran yang ada di alam semesta, di dalam kehidupan manusia dan sejarah yang menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Semakin bertumbuh dan meningkat kualitas ilmu pengetahuan dan teknologi, semakin berkualitas wujud dan aktualisasi kebudayaan. Namun kita perlu mengetahui, menyadari dan mengakui adanya kejatuhan pada manusia. Akibat kejatuan itu ialah kematian, kerusakan total dan ketidakmampuan total pada diri manusia secara individu dan kelompok tidak terbantahkan siapa pun. Dampak yang dihasilkan dari kerusakan total dan ketidakmampuan total ialah tidak adanya dasar, arah dan struktur kebudayaan yang sesuai dengan kehendak Allah. Sejak penciptaan, kebudayaan seharusnya berdasarkan rancangan Allah untuk memuliakan-Nya melalui penatalayanan atas bumi dan segala isinya. Namun kejatuhan menyebabkan kebudayaan berdasarkan rancangan manusia untuk memuliakan dirinya melalui mengeksplorasi bumi dan merusak tatanan yang ada di bumi ini.
Kedua, Hubungan Literal. Dalam keadaan seperti itu, kebenaran Allah yang diwahyukan-Nya secara khusus dan verbal dikaruniakan melalui inspirasi Roh Kudus kepada para penulis. Alkitab ditulis dengan bahasa Ibrani, Aramik, dan Yunani. Ketiga bahasa itu menggambarkan adanya tiga kelompok kebudayaan dari hasil respon manusia terhadap alam semesta dan diri manusia sendiri. Namun bahasa yang dijadikan sarana untuk menuliskan Alkitab tidak menjadikan Alkitab sebagai bagian dari kebenaran Allah secara umum. Karena Alkitab diinspirasikan Allah, sedangkan bahasa merupakan respon manusia yang inherent pada manusia. Kevin J. Vanhoozer berpendapat bahwa ekspresi perkataan dan pekerjaan dari jiwa masyarakat yang hidup dalam sejarah sebagai kebudayaan yang obyektif (Carson and Woodbridge, 2002:6). Alkitab adalah firman Allah yang menebus kebudayaan agar dibawa kembali kepada dasar, arah dan struktur yang benar. Kebenaran ini memerdekakan kebudayaan dan pelaku budayanya dari segala bentuk perbudakan dosa dan kuasa si jahat.
Ketiga, Hubungan Personal. Hanya orang yang sudah dibenarkan Allah di dalam Kristus melalui kelahiran kembali oleh Roh Kudus yang mengalami anugerah Allah secara khusus. Orang percaya mengerti pentingnya hubungan pribadi dengan Kristus sebagai Mediator antara manusia dan segala kebenaran Allah yang diwahyukan secara umum dan khusus. Alkitab mengajarkan orang Kristen bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang Tunggal, yang inkarnasi menjadi manusia sesuai Kitab Suci. Yesus Kristus adalah Kebenaran, Menurut keyakinan Kristen, hanya Yesus Kristus yang menebus setiap orang pilihan-Nya untuk hidup kekal di langit dan bumi baru. Penebusan Kristus juga berkaitan dengan kebudayaan yang ada di bumi ini. Geoffrey W. Bromiley berpendapat bahwa masyarakat menginginkan hidup bebas dari kejahatan, kekerasan, penindasan dan rasa takut (Carson and Woodbridge, 2002:83). Pembebasan itu dimulai di bumi ini dan disempurnakan di bumi yang baru.
Kesimpulan
Segala kebenaran adalah kebenaran Allah sebagai prinsip yang transformative bagi setiap orang untuk menemukannya dan memanfaatkannya bagi kehidupan yang sejahtera dan adil di bumi ini. Potensi yang sudah dikaruniakan Allah wajib digalitemukan lebih serius dan lebih keras lagi karena kebutuhan manusia begitu nyata pada konteks krisis kehidupan saat ini. Namun upaya penggalian potensi itu harus diarahkan kepada Allah supaya hasil penemuan manusia tidak menimbulkan keterpurukan dan kesusahan manusia di bumi ini.
Setiap orang diberikan kesempatan menciptakan kebudayaan yang benar, baik, adil dan suci untuk kesejahteraan manusia. Upaya itu dapat dilakukan oleh setiap orang di dalam dan melalui setiap keluarga, lembaga-lembaga pendidikan formal dan informal, lembaga-lembaga keagamaan, dan lembaga-lembaga ekonomi dan bisnis. Hasil dari penemuan kebenaran-kebenaran Allah di alam semesta ini tidak akan berhenti pada teknologi digital yang saat sudah digunakan secara global, tetapi juga seharusnya berdampak pada transformasi karakter yang saleh atas setiap orang dimana pun berada.