Jakarta-Journal Reportase-Masalah jagung ternyata menjadi isu nasional yang tak bisa dipungkuri. Diakui atau tidak oleh pemerintah untuk menoapang kebutuhan jagung. Indonesia masih impor, setelah beras, gula, dan buah-buahan. Belum lagi komoditi pangan lainnya. Pertanyaannya sekarang, kemana dan dimana jagung kita ? apakah petani kita sudah enggan menanam jagung, lantaran kurang diperhatikan dari mulai bibitnya sulit didapat, pupuk harganya mahal, alat-alatnya juga serba mahal , luasan lahannya tidak mencukupi, perijinan gampang-gampang susah atau pemerintah memang sudah tidak lagi peduli dengan nasib para petani kita ?
Bisa dibayangkan, kalau penghasilan petani jagung penghasilannyahanya sekitar Rp.660.000 per bulan, sedangkan kebutuhan hidup keluarga terus meningkat, dan membutuhkan penghasilan rata-rata Rp.2.500.000,- barulah dirasakan cukup mesk itidak berpikir untuk bisa kaya, demikian pendapat para pakar pangan. Mungkin saja ada factor lainnya yang lebih esensial, sehingga pemerintah harus impor jagung, sementara luas wilayah di negara kita tidak kurang-kurangnya lahan (areal) kalau hanya untuk bertanam jagung.
Isu kelangkaan jagung sebetulnya sudah lama menjadi persoalan nasional cukup serius . Pemerintah sedapat mungkin harus segera mencari solusinya. Pemerintah kalau masih tetap ngotot ingin berswasembada jagung, benahi dulu regulasi tata niaga atau tata kelola jagung secara komperhanship baru bicara swasembada. Isu inilah yang akhirnya ditangkap oleh sebuah lembaga pangan swasta nasional yang menyoroti dan konsen terhadap masalah pangan, dan cukup mumpuni, yaitu lembaga Pusat Kajian Pangan Strategis atau disingkat PKPS yang dinakodahioleh Prof. DR. Siswono Yudhohusodo ( Ketua ), mantan Anggota DPR RI/F-Golkar yang sudah puluhan tahun malang melintang dunia politik dari asa pemerintahan rezim orde baru hingga sekarang, beliau kini sudah paripurna dari keanggota DPR .
Kita tentu kenal, dan tahu bagaimana sepak serjang profesor yang satu ini yang pernah menduduki jabatan Menteri Pertanian di masa pemerintahan mendiang (alm) Presiden Soeharto. Beliau ini dari dulu selalu konsen terhadap persoalan pertanian yang bersentuhan pangan dan petani di pedesaan yang ada di daerah-daerah. Sudah sepatutnya, Siswono beberapa periode menjadi anggota DPR masih tetap di Komisi IV DPR RI komisi yang membidangi pertanian, kehutanan, pertenakan, dan perkebunan ketika itu
Untuk menjawab tatangan pasar bebas 2020 di era globalisasi di sektor pertanian seperti sekarang ini, khususnya menyangkut ketersedian pangan (jagung) masih memprihatinkan, PKPS menggelar seminar nasional bertajuk “ Rembuk Jagung Nasional 2017” yang di selenggarakan sehari di Jakarta Desain Cemter (JDC) Selasa (19/09). Seminar ini diikuti para kepala daerah (bupati), kepala dinas terkait, pelaku bisnis, akademisi, asosiasi jagung dan pemerhati masalah kesenjangan sosial di bidang pangan, utamanya jagung yang kini masih menjadi perhelatan di pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan Kabinet Kerjanya.
Pada sesson pertama, pembicaranya cukup kondang, dan ahli di bidang masing-masing ilmu, diantaranya : Budi Suryanto (Direktur Land Refrom BPN), Gatot Irianto (Dirjen Tanaman Pangan/TP Kementan), H. BambangM Yasin (Bupati Dompu-NTB), Herman Khaeron ( Pimpinan Komisi IV DPR RI/F-Demokrat), dan Musdalifah Machmud ( Deputi Bid. Pangan Dan Pertanian Kemenko).
Sub tema seminar, “Sinergi Kekuatan Nasional dalamPencapain Sswasembada Jagung Dengan Iklim Usaha Yang Kondusif Dan Mensejahterakan” menjadi topik diskusi yang cukup pedas tapi menarik diseminarkan. Namnya, “Rembuk Jagung Nasional 2017) yang segalasesuatunya harus dirembuk atau rembukan mencari jalan keluar (solusi) agar masalah jagung bisa segera diatasi.
Setelah diteleti,dan dicermati ternyata, penggasanya dengan lahirnya PKPS adalah Herman Khaeron teman sejawat satu komisi, yaitu di Komisi IV dengan Siswono. Hanya saja politisi Demokrat itu masih berlanjut sebagai anggota dewan dan masih tetap duduk di Komisi IV. Maka, tidaklah mengherankan, jika lembaga pangan PKPS dengungnnya semakin santer hingga ke telinga pemerintahan Presiden Joko Widodo maupun dikalangan DPR, pemerintahan daerah, akademisi, asosiasi, pelaku bisnis sampai ke telinga petani.
Potensi pangan dan luas baku lahan
Makalah didalam draft oleh Herman Khaeron, didalamnya disebutkan, bahwa peta potensi pangan spesifik wilayah Indonesia. Indonesia sebagainegara Archipelago,luas daratan sekitar 1.890.739 km2 , dan lautan 6.315.222 km2 (big,2016) dengan karakteristik beragam luasan areal daratan dengan kontruksi tanah/lahan yang berbeda tapi sesungguhnya masih bias diupayakan untuk ditanami jagung, dengan mendapatkan hasil panen yang produktif, dan bisa diandalkan untuk menopang ketersedian pangan nasional dalam kurun waktu 5-10 tahun mendatang menuju swasembada jagung.
Pencapain swasembada secara spesifik bisa dilihat dari luasan baku lahan pertanian mencapai 62,50 juta Ha yang terdiri dari, sawah 8.11 juta Ha, sawah irigasi 4,1 juta Ha 2 x tanam tapi perlu normalisasi, non irigasi 4,0 jt Ha 1 x tanam, Huma/ladang 5.02 jt Ha 1x tanam tapi perlu embung untuk ladang,lahan tidur 11.68 jt Ha juga perlu embung, sedangkan untuk regulasi tanah terlantar bisa dilihat di PP 11/2010 Pasal 9-13, dan ladang pengembalaan 2,19 jt Ha. Sementara tenaga kerja pertanian (SDM) berjumlah 36.396.184 jiwa (2014) yang terdiri tingkatan usia dari 15-24 th = 3.789.222jiwa, usia 25-54 thn = 23.487.918 jiwa, diatas 55 th = 9.119.144 jiwa.
Komposisi pendidikan juga sangat berpengaruh meningkatkan SDM di sector pertanian. Lulusan SD 40%, SLTP 15%,SLTA 10%, Perguruan Tinggi(PT) 2%, tidak/belumtamat SD 24%, dan tidak/belumsekolah 10% demikian sumber Kementerian Pertanian 2017, Jika,dibanding tahun 2017 lendakan atau jumlah penduduk terus meningkat populasinya dalam kurun waktu 3 tahun (2014-2017).Maka, semangat Undang-Undang No.16/tahun 2006 mengatur tentang pelatihan bagi kepala daerah melalui kepala-kepala dinas ditingkat kabupaten hingga skala propinsi tentunya pelatihan,penyuluhan, dan pendidikan di bidang pertanian masih sangat sedikit (minim) tenaga ahli, jika dilihat dari luasan wilayah di Indonesia.
Perkembangan budidaya jagung dan realisasi prediksi tanam jagung
Mengenai perkembangan Budidaya Jagung menurut sumber Kementan 2017 disebutkan, produksi jagung 2015-2016 antaralain, di tahun 2015 produksi jagung mencapai 19.612 ton , tahun 2016 meningkat menjadi 23.164 ton dengan kenaikan prosentase 18,11%. Sedangkan pemerintah menargetkan 25.20 juta ton per tahun. Sementara, volume kegiatan utama 2017 yang harusdilakukan pemerintah guna mencapai kisaran 25,20 juta ton per tahununtuk jenis jagung hibrida, dibutuhkan luasan lahan rata-rata 3,0 juta Ha.Sedangkan untuk menghasilkan bibit benih jagung hibrida sebgai jagung unggulan dibutuhkan bibit hibrida sebanyak 300 ton.
Dilihat dari realisasidan prediksi luas tanam jagung tahun 2015-2017 dalam hitungan jutaan hektar, pada tahun 2914 luasan lahan 4.001.253 Ha, tahun 2015 ada peningkatan sedikit 4.061.802 Ha, meningkat lagi 4.900.493 Ha, dan terus meningkat 5.997.931ditahun 2017 cukup signifikankenaikannnya.
Realisasi luas tanah dan produksi jagung 2017 dalam hitungan TON pada Januari 2017 sebesar 3.705.539 ton dengan luas lahan 303,600 Ha, Februari 3.837.637 ton (luas lahan 371,651Ha), dan Maret 3.253.138 ton (luas lahan 405,286 Ha) berdasarkan sumber BPS dan Kementan 2017). Sedangkan, prakiraan ketersedian dankebutuhan jagung 2017 adalah 8.833.639 ton diperlukan untuk pencapain swasembada jagung.
Langkah strategis pengembangan jagung
Langkah-langkah strategi pengembangan jagung di Indonesia perlu dukungan serius seluruh pihak intansi terkait baik yang ada di pemerintah pusat naupun daerah. Karena jagung juga merupakan salah satu kebutuhan pangan yang sangat krusial, dan penting dalam menopong perekonomian bangsa untuk membangun infrastruktur di bidang pertanian, utamanya adalah jagung sebagai komoditi pangan yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat (petani).
Penjabaran secara garis besar menuju strategi pencapain swasembada jagung ada 3 kunci utama yang harus diperhatikan, adalah masalah intensifikasi, ekstensifikasi, dan diverifikasi Ketiga factor tersebut akan dapat menghasilkan manajemen tanam yang mumpuni. Manajemen tanam dapat dilihat dari hitungan kalendar tanam, pola pemupukan, pola pengairan, dan pola pembenihan.
Sehingga dari pola-pola itu, pada masa panen dan pasca panen akan memperoleh hasil yang memadai, dan dapat dihandalkan guna memenuhi kebutuhan pangan dari hasil produksi yang baik. Dalam hal inih peran pemerintah daerah harus jelas sebagai apa, tentunya berperan sebagai regulator, pemerintah pusat fasilitator, sedangkan petani (jagung) adalah eksekutor dalam arti pelaku langsung/penggarap yang justru punya peran sangat penting dalam mencapai kebutuhan pangan nasional, tanpa petani orang kota tidak bisa berbuat apa-apa.
Tapi, dengan satu catatan tidak adalagi “permainan” atau “kecurangan” para mafia jagung, darimulaipengadaan benih/bibit, pupuk, peralatan, pendistribusian, ijin-ijin, dan sebagainyadimudahkanoleh pemerintah.Negara yang dulu dikenal dengan sebutan negara agraria harus dikembalikan kejayaan dan kedaulatan pangannya kepangkuan ibu pertiwi, Indonesia yang kuat, mandiri, berdaulat, dan berwibawa.
Masih banyak hal-hal lainnya masalah pengembanga budidaya jagung, seperti masalah mapping pengembangannya, implemnetasi kebijakan, termasuk didalamnya masalah politik anggaran Komisi IV DPR RI di sektor pertanian harus terbuka, transparan, dan akuntanbel, dan yang lebih penting adalah kebijakan pro petani Demikian inti isi makalah yang disampaikan Herman Khaeron, Politisi Senayan Fraksi Demokrat dalam bahasan seminar.
Jagung, tuan rumah di negeri sendiri
Ditegaskan, “Kedaulatan pangan adalah harga mati yang harus bisa kita rebut dan dikembalikan pada masa kejayaan sebagai negara agraris. Pangan merupakan urat nadi perekonomian bangsa Indonesia menuju masyarakat sejahtera, adil dan merata”, tegas Herman Khaeron dihadapan peserta seminar disambut aplus.
“Memang untuk mencapai kedaulatan pangan menuju masyarakat sejahtera, adil dan merata tidak mudah seperti membalikan telapak tangan, masih butuh waktu dan proses cukup panjang Namun, jika kita saling asih, asah, dan asuh bahu membahu satu sama lain, baik yang ada pemerintahan pusat maupun daerah, dan bisa bisabersinergi dengan petani secara baik dan berkesinambungan, insya allah swasembada jagung bisa tercapai, “imbuhnya.
Lanjut dia,” Kita semua tentu berharap, jagung kita bisa kembali menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, tidak ada lagi istilah yang namanya impor, jika perlu kita sebagai negara pengekspor jagung terbesar di dunia,” pungkas Anggota Komisi IV DPR-RI/F-Demokrat tegas disambut lagi aplus peserta seminr.
Menanggapi persoalan jagung yang di seminar dengan pemaparan setiappembicara, tidakmustahil peserta seminar masih ada yang belum yakin, karena belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, ketika pemerintah berbicara soal swasembada pangan komoditi jenis pangan apapun selalu gagal,baik itu beras, gula, kedelai, dan sebagainya.
Sehingga, pemaparan dengan angka-angka itu mungkin saja masih diragukan dan bertanya-tanya, apakah angka-angka yang disebutkan oleh sumber BPS maupun Kementan sudah benar akurasinya? Lalu bagaimana implementasinya, dan regulasi tata kelola atau tata niaga budidaya jagung itu sendiri , kira-kira bisa dipertanggungjawabkan ? guna mencapai yang namanya swasembada jagung , karena sampai detik ini jagung saja kita masih impor, bagaimana mungkin mau swasembada ?
Namun demikian kita harus tetap optimis berharap, dan berdoa semoga saja apa yang menjadi rumusan tim perumus PKPS betul-betul bisa bermamfaat, dan dipergunakan oleh pemerintah pusat maupun daerah, termasuk DPR yang punya kewenangan untuk menggodok rancangan undang-undang di sector pangan, selain pembentukan panja (panitia kerja).
Disinilah, peran penting lembaga PKPS mampu memberikan solusi sekaligus kontribusi yang berharga, dan tentu bermamfaat bagi kepentingan bangsa dan negara, tidak hanya dalam skala nasional tapi juga internasional, oleh karena itu dukungan PKPS untuk pencapaian swassembada jagung lembaga pangan ini tidak perlu diragukan. [Untung Sugianto]